Suku Bajo Pulau Sapeken, Simbol Eksistensi Tradisi dan Ancaman Keterpurukan Warga Pesisir
Abdurrahman bin M. Irham
Gerakan Mahasiswa Kecamatan Sapeken (GERMAKS)
“Walau perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju namun tidak memiliki dampak yang jelas kepada masyarakat bajo sebagai sarana memperbaiki tingkat ekonomi, social, politik dalam menjalani kehidupannya (Presiden Bajo Indonesia)”.
Sapeken adalah sebuah kecamatan di Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Wilayah ini terletak di bagian paling ujung . Uniknya, penduduk di Kepulauan Sapeken ini berbahasa Sulawesi (bahasanya: bahasa Bajau, bahasa Mandar dan sebagian kecil berbahasa Bugis) bukan berbahasa Madura karena dalam sejarahnya orang Sulawesilah yang menemukan kepulauan ini. Begitu juga dengan kultur budaya sangat berbeda dengan budaya Madura, rata-rata suku yang ada di Kepulauan Sapeken (Kecamatan Sapeken) Suku Bajau, suku Mandar dan suku Bugis. Kepulauan Sapeken ini terletak di sebelah utara Bali. Kecamatan Sapeken mempuanyai luas total wilayah 201,88 Km 2 (9,64 % dari luas Kabupaten Sumenep). Jumlah Desa di Kecamatan Sapeken sebanyak 9 desa antara lain : Desa Sapeken, Paliat, Sabuntan, Sasi'il, Sepanjang, Tanjung Kiaok, Pagerungan Kecil, Pagerungan Besar dan Sakala, Selain itu terdapat juga beberapa pulau yang masih masuk wilayah administrasi Kecamatan Sapeken. Jumlah pulau terdiri dari 53 terdiri dari 21 pulau berpenghuni, 32 pulau tidak berpenghuni. Kecamatan Sapeken berbatasan dengan laut dan kecamatan lain. Pada sisi sebelah utara dibatasi oleh Laut Kalimantan, sebelah selatan dibatasi Laut Bali, sebelah timur dibatasi oleh Laut Sulawesi, sebelah barat dibatasi oleh Laut Jawa. Jumlah penduduk Kecamatan Sapeken secara keseluruhan berjumlah 37.765 jiwa (Bappeda Kab. Sumenep, 2011). Komposisi penduduk Kecamatan Sapeken terdiri dari laki-lakisebanyak 18.677 jiwa (49,46 %) dan perempuan 19.088 jiwa (50,54 %). Rasio jenis kelamin sebesar 97,85 % dengan kepadatan penduduk sebanyak 187,06 jiwa/Km 2.
Menjaga tradisi yang dilakukan oleh suku bajo sapekan adalah salah satu cara mempertahankan identitas yang sudah lama di anut dalam tatanan masyarakatnya agar tidak hilang dengan seiring berkembangnya zaman saat ini. Dan tradisi yang selalu dijaga tidak jauh dari kata laut dan nelayan karena suku bajo adalah suku yang terkenal dengan pelaut dan nelayan yang sering berpindah-pindah tempat. Kedekatan emosional masyarakat Bajo dengan sumberdaya laut memunculkan tradisi mamia kadialo. Tradisi mamia kadialo berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut jangka waktu tertentu dan perahu yang digunakan. Ada tiga kelompok tradisi ini: palilibu, bapongka, dan sasakai.
Pertama, Palilibu adalah kebiasaan melaut menggunakan perahu soppe yang digerakkan dayung. Melaut hanya dalam satu atau dua hari dan kembali kepermukiman menjual hasil tangkapan dan sebagian dinikmati bersama keluarga. Kedua, Bapongka (babangi) adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkanbulanan menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 4×2 meter disebut leppa atau sopek. Kegiatan ini sering mengikutsertakan keluarga, seperti istri dan anak-anak, bahkan ada yang melahirkan di atas perahu. Lalu ketiga, sasakai, yaitu kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah antar pulau. Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut) ada pantangan bagi keluarga yang ditinggal maupun mereka yang melaut.
Pantangan itu, antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti, air cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabai, jahe dan air perasan jeruk, dan larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut. Air cucian maupun bahan-bahan ini hendaknya ditampung dan dibuang di daratan. Ada pula pantangan memakan daging penyu, jika dilanggar bisa mendatangkan malapetaka, bencana badai, gangguan roh jahat bahkan tidak mendapatkan hasil apa-apa di laut. Penyu dipercaya banyak menolong manusia yang mengalami musibah, karena itu satwa ini tidak boleh dibunuh. Masyarakat Bajo, khusus generasi tua, masih mempercayai gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orang tua melarang anggota keluarga menangkap ikan dan biota lain di sekitar gugusan karang, kecuali terlebih dahulu melakukan ritual tertentu dengan menyiapkan sajian bagi leluhur.” “Berbagai pantangan itu mengandung nilai pelestarian ekosistem perairan laut dan pesisir.
Kedekatan masyarakat Bajo dengan laut dan pesisir memungkinkan mereka memiliki berbagai pengetahuan lokal tentang gejala-gejala alam. Di tengah kerusakan atmosfer bumi, ada gejala alam dan tanda-tanda atmosfer yang masih digunakan masyarakat Bajo saat melaut. Perairan terumbu karang dikenal dari gejala-gejala seperti, permukaan laut sekitar cukup tenang, arus kurang kencang, banyak buih atau busa putih dan bau anyir, dan ketika dayung perahu berdesir saat berperahu. Gugusan karang dapat dikenal dari kilauan cahaya bulan pada malam hari. Peralihan pasang surut air laut pada siang hari, ketika burung elang turun mendekati permukaan air laut pertanda air mulai surut.Pengetahuan masyarakat terhadap gejala alam ini, katanya, memiliki nilai ekologis. Terumbu karang, antara lain sebagai penahan arus dan gelombang. Tak heran, di sekitar kawasan itu yang cukup tenang. Kilauan cahaya bulan akibat pantulan permukaan air cukup tenang. Aktivitas burung elang mendekati permukaan laut karena ketika air surut lebih banyak tampak biota laut yang menjadi mangsa burung elang.
Dibalik keunikan yang terdapat di penduduk kecamatan sapeken baik dari tradisi dan letak geografis masuk pada kabupaten Madura tetapi secara dialek memakai dialek sulawesi. Namun ada hal yang perlu di jadikan perhatian bersama baik masyarakat, kaum intelektual dan lebih khususnya pemerintah bahwa ada ketimpangan pemerataan kebijakan dari pemerintah yang seloah bagaikan pulau terbuang, itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kebijakan Pemkab Sumenep atas perkembangan wilayah kepulauan sapeken sehingga eksistensi suku bajo menemui keterpurukan yang sangat jelas di bandingkan dengan kecamatan lain yang ada di kabupaten sumenep. Banyak kalangan menilai, selama ini kebijakan yang dijalankan tak berpihak pada semua masyarakat alias tak ada pemerataan pembangunan. Indikasinya antara wilayah satu dengan lainnya mengalami perbedaan perkembangan, baik perekonomian, kesehatan dan pendidikan. Contoh kecil, kepulauan dan daratan sangat jauh berbeda dalam segi apapun, termasuk infrastruktur. Wilayah kepulauan ibarat anak tiri yang selalu mengalami ketimpangan luar biasa dengan perkembangan di wilayah daratan. Hal itu ditemukan setelah anggota dewan melakukan reses di beberapa wilayah kepulauan. Di antaranya kepulauan Giliraja, Kepulauan Giligenting, Kecamatan Giligenting dan Kepulauan Sapeken, Kecamatan Sapeken. Perekonomian kepulauan sapeken tergolong stabil dan menjadi salah satu kecamatan penyumbang terbesar terhadap pendapatan daerah sumenep. Tetapi hal itu tidak memberikan poin penting bagi pemerintah untuk membuat sarana dan prasarana seperti rumah sakit, lembaga pendidikan dan listrik. Sudah banyak sekali kejadian penduduk kecamatan sapeken meninggal karena tidak terfasilitasinya rumah sakit yang memadai baik dari segi alat ataupun petugas yang ahli dalam bidangnya. Kemudian dari segi pendidikan yang katanya untuk mencerdaskan bangsa dengan banyaknya dikucurkan dana BOS tetapi hal ini tidak serta merta berdampak langsung kepada siswa karena masih banyaknya oknum-oknum tertentu yang memamfaatkan kelalaian pemerintah terkait kontroling dana BOS sehingga banyak sekolah gaib yang ada di kepulauan. Sekolah ghoib yang dimaksudkan adalah tidak ada bangunan sekolah tetapi ada siswa yang terdaftar atau tidak ada lembaga pendidikan dan siswa namun terdaftar. Dan hal yang paling terpenting terkait listrik. Sebanyak sembilan dari 11 desa di Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, belum teralirkan listrik PLN. Padahal, kecamatan yang memiliki 26 pulau itu dihuni oleh 35 ribuan jiwa. Mantan anggota DPRD Nur Asyur berharap pemerintah segera mencarikan solusi untuk sembilan desa tersebut dan berharap pemerintah daerah menepati janji. Janji yang dimaksud adalah alokasi anggaran di ABPD 2018 lebih besar untuk kepulauan daripada daratan, yaitu 60 persen untuk kepulauan dan 40 persen daratan."Jadi, realisasi 60 persen dari ABPD Sumenep yang mencapai Rp2 triliun itu yang akan kita tunggu, biar persoalan di pulau Sumenep teratasi, termasuk di bidang kelistrikan," tutur dia.
Penulis melihat bahwa ini merupakan kesalahan kebijakan pemerintah sehingga pembangunan di kepulauan tidak merata. Ada diskriminasi kebijakan bagi warga kepulauan dengan pengangguran sangat dominan di daerah kepulauan. Tapi yang sangat memperihatinkan adalah minimnya infrastruktur yang merupakan dampak dari diskriminasi kebijakan pemerintah. Dengan kondisi infrastruktur yang sangat minim seharusnya pemerintah melakukan langkah-langkah politis sehingga kebijakan pemerintah tidak lagi berpihak pada warga daratan saja. Hal ini harus menjadi perhatian yang sangat serius dari pemerintah daerah agar warga bajo pulau sapeken yang bisa dikatakan sebagai orang pesisir tidak semakin terpuruk dari hari ke hari.